Pantaupolitik.com – Fungsi Tempat Penitipan Anak (TPA) kerap kali dianggap sederhana: ruang menitipkan anak agar orang tua bisa bekerja dengan tenang. Namun, melalui program Tamasya (Taman Asuh Sayang Anak), BKKBN berupaya mengubah persepsi tersebut. Tamasya dirancang bukan hanya sebagai “penitipan”, melainkan sebagai ruang kolaborasi lintas sektor untuk memastikan tumbuh kembang anak berjalan optimal sekaligus memperkuat keluarga.
Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat, Dr. Dadi Ahmad Roswandi, menyebut program ini sebagai langkah pergeseran paradigma. “Jika dulu TPA hanya dipandang sebagai tempat menitipkan anak, Tamasya menghadirkan kerja sama antara pemerintah, sekolah, pengasuh, dan orang tua. Harapannya anak bisa tumbuh lebih optimal, sementara keluarga semakin kuat,” ujarnya.
Sejauh ini, 27 Tamasya sudah berdiri di Jawa Barat. Di Garut, Sekolah Tadika Gemilang dipilih sebagai pilot project—sebuah langkah strategis, mengingat kualitas pengasuhan anak di tingkat akar rumput sering kali luput dari perhatian kebijakan publik.
Tamasya memang membawa gagasan penting: memastikan anak-anak Indonesia mendapat pengasuhan yang ramah, aman, serta berbasis kolaborasi. Empat pilar yang ditetapkan—kompetensi pengasuh, pemantauan tumbuh kembang untuk mencegah stunting, keterlibatan keluarga, serta layanan rujukan untuk anak berkebutuhan khusus—merupakan fondasi yang relevan.
Namun tantangannya tak kecil. Ketersediaan tenaga pengasuh berkompeten masih terbatas. Layanan rujukan di daerah terpencil juga belum merata. Sementara itu, stigma “TPA hanya untuk titipan” masih kuat di masyarakat. Tanpa perubahan budaya pengasuhan dan dukungan kebijakan yang konsisten, program berisiko berjalan hanya di atas kertas atau sebatas pilot project.
Dukungan swasta, seperti yang ditunjukkan oleh PLN Indonesia Power UBP Kamojang, memberi dimensi lain. “Kami percaya penguatan keluarga adalah fondasi penting bagi masa depan bangsa. Karena itu, Indonesia Power mendukung Tamasya sebagai bentuk kepedulian terhadap generasi mendatang,” kata Yunus Tohir, Senior Manager perusahaan tersebut.
Keterlibatan korporasi memang patut diapresiasi, tetapi juga perlu dipastikan bukan sekadar kegiatan CSR seremonial. Keberlanjutan dukungan, transparansi program, dan sinergi dengan pemerintah daerah akan menentukan seberapa jauh kontribusi ini benar-benar berdampak.
Tamasya di Garut memperlihatkan satu hal penting: pengasuhan anak bukan hanya urusan keluarga inti, melainkan persoalan bersama. Di tengah ancaman stunting, kualitas SDM rendah, dan keterbatasan fasilitas pengasuhan, program ini menjadi relevan.
Tetap ada ruang kritik: perlu pengawasan agar standar benar-benar diterapkan, perlu evaluasi rutin agar layanan tak stagnan, dan perlu keseriusan politik agar Tamasya tak berhenti sebagai “proyek unggulan” sesaat.
Namun, dukungan dari pemerintah, sekolah, masyarakat, hingga sektor swasta menunjukkan bahwa ada kesadaran kolektif: menyiapkan anak-anak hari ini berarti menyiapkan fondasi Indonesia Emas 2045. Dan fondasi itu, sebagaimana listrik yang menghidupkan rumah, harus dijaga menyala—bukan hanya di awal, tapi berkelanjutan. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.