Opini

Sekolah Rakyat: Apakah Negara Sedang Menyerah pada Sekolah Formal?

Sekolah Rakyat: Apakah Negara Sedang Menyerah pada Sekolah Formal?
Ilustrasi. (Pantaupolitik.com)

Pantaupolitik.com - Pemerintahan baru selalu membawa jargon baru. Di era Prabowo, salah satu yang cukup menyita perhatian adalah munculnya program Sekolah Rakyat. Bukan sebagai inisiatif komunitas, tapi sebagai kebijakan resmi. Di atas kertas, niatnya sangat mulia: menanggulangi kemiskinan struktural melalui jalur pendidikan nonformal yang inklusif dan adaptif.

Tapi seperti banyak jargon populis lainnya, pertanyaannya sederhana: ini solusi atau sekadar pelarian?

Mari mulai dari ironi paling dasar: negara membuat sekolah sendiri di luar sekolah yang sudah dibuat oleh negara itu sendiri. Ketika sistem pendidikan formal gagal menjangkau yang miskin, alih-alih membenahi sistemnya, pemerintah malah bikin sistem baru di luar sistem. Kalau ini terjadi di perusahaan, kita menyebutnya divisi tandingan. Di negara, kita menyebutnya... kebijakan kreatif penuh optimisme—dengan anggaran tentunya.

Pertanyaannya: mengapa tidak fokus benahi sekolah formal yang sudah ada?

Pendidikan di Indonesia sudah digratiskan secara formal dari SD sampai SMA. Ada BOS, ada KIP, ada seragam gratis di beberapa daerah, bahkan bansos bagi keluarga. Tapi anak-anak miskin masih banyak yang putus sekolah. Ini seharusnya menjadi alarm, bukan malah dijawab dengan membuat jalur pendidikan baru yang lebih longgar dan minim regulasi.

Jika yang dibutuhkan adalah intervensi sosial untuk menyokong keluarga miskin agar bisa menyekolahkan anaknya, maka perbaikilah aspek ekonomi keluarga. Tapi kalau yang dibangun adalah Sekolah Rakyat, jangan-jangan negara sedang mengatakan: "Kami tidak bisa memperbaiki sistem pendidikan nasional, jadi mari buat jalur alternatif yang lebih sederhana, murah, dan tidak merepotkan."

Kita tentu tidak boleh menyepelekan kebutuhan pendidikan nonformal, apalagi yang menyasar kelompok marginal. Tapi Sekolah Rakyat sebagai program kebijakan nasional harus dikritisi secara serius:

  1. Apa standar pendidikannya?
    Apakah lulusan Sekolah Rakyat akan setara dengan lulusan SD/SMP/SMA formal? Jika tidak, bukankah ini malah memperlebar kesenjangan?

  2. Apa bentuk sertifikasinya?
    Apakah lulusan bisa lanjut ke perguruan tinggi? Atau hanya dicetak untuk menjadi tenaga kerja kasar dengan sedikit keterampilan?

  3. Apa jaminan kualitasnya?
    Karena selama ini, program-program “rakyat” yang cepat diluncurkan seringkali lambat dievaluasi, dan sangat mudah dipolitisasi.

  4. Apa motif sebenarnya?
    Di balik semua narasi besar tentang keberpihakan pada rakyat kecil, jangan-jangan Sekolah Rakyat adalah cara baru untuk menciptakan kelas bawah permanen yang dididik cukup untuk taat, tapi tidak cukup untuk bertanya.

Program ini juga membuka potensi perdebatan antara pengarusutamaan pendidikan setara vs normalisasi pendidikan kelas dua. Dan kita tahu, jika tidak dikawal ketat, negara ini punya bakat luar biasa dalam menjadikan “niat baik” sebagai ladang eksploitasi struktural.

Lebih parah lagi, Sekolah Rakyat bisa menjadi semacam panggung moral bagi elite politik untuk menunjukkan keberpihakan palsu kepada rakyat miskin, sembari tetap membiarkan sistem pendidikan formal compang-camping tanpa pembenahan serius.

Jadi, pertanyaannya sederhana namun menohok:
Apakah Sekolah Rakyat adalah jalan baru untuk menghapus kemiskinan?
Atau justru cara baru untuk membungkus kegagalan negara dalam membenahi pendidikan formal?

Kalau jawabannya yang kedua, maka ini bukan sekadar kebijakan. Ini adalah pengakuan diam-diam bahwa negara telah menyerah. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.