Opini

Perjuangan Agraria: Meneruskan Api Kemerdekaan yang Tertunda

Perjuangan Agraria: Meneruskan Api Kemerdekaan yang Tertunda
Oleh: Agustiana - Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP). (Sumber foto: tangkapan layar/pantaupolitik.com)

Pantaupolitik.com - Di balik gegap gempita peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, masih ada lembar perjuangan yang belum tuntas diselesaikan: reforma agraria sejati. Sebuah amanat konstitusional yang lahir dari semangat para pejuang kemerdekaan, namun justru diabaikan oleh penguasa dari masa ke masa, mulai dari era Orde Baru hingga kini.

Perjuangan agraria bukanlah hal baru. Ia merupakan kelanjutan dari perjuangan para pahlawan bangsa yang berkorban jiwa dan raga untuk membebaskan negeri ini dari cengkeraman kolonial. Tanah yang dahulu dikuasai penjajah Belanda bukan sekadar objek ekonomi, melainkan simbol kedaulatan dan harga diri bangsa. Maka, mengembalikannya ke tangan rakyat adalah bagian dari misi kemerdekaan itu sendiri.

Namun, sejarah mencatat babak ironi. Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk menjalankan reforma agraria justru terganjal oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Rezim Orde Baru bahkan memutar balikkan arah sejarah dengan menjadikan tanah sebagai komoditas dan alat akumulasi modal segelintir elit. Rakyat, khususnya petani, dipaksa menjadi penonton di atas tanah mereka sendiri. Ini bukan sekadar pengingkaran, tapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.

Kini, di tengah ketimpangan agraria yang terus melebar, petani tak bisa lagi diam. Kami, para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), menyadari bahwa perjuangan untuk tanah bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi tentang merebut kembali hak yang dirampas. Ini adalah bentuk tanggung jawab historis kami kepada para pendiri bangsa, kepada para pahlawan yang gugur di medan tempur, agar darah mereka tidak tumpah sia-sia.

Kami menolak tunduk pada rasa takut. Kami menolak dibungkam oleh kriminalisasi yang kerap menimpa pejuang agraria. Kami menolak anggapan bahwa perjuangan petani adalah ancaman bagi stabilitas negara. Justru sebaliknya, ketimpangan agraria-lah yang menjadi akar dari banyak konflik sosial dan ancaman terhadap masa depan negeri.

Maka, di bulan kemerdekaan ini, kami menyerukan agar reforma agraria sejati dilaksanakan, bukan sekadar jargon politik. Kami menuntut redistribusi tanah yang adil, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, perlindungan terhadap petani dari kekerasan dan penggusuran, serta penghentian kriminalisasi terhadap gerakan rakyat yang memperjuangkan haknya.

Tanah untuk rakyat bukan mimpi, melainkan janji kemerdekaan yang harus ditepati. Dan jika negara masih lalai, maka petani akan terus bangkit. Tanpa rasa takut. Tanpa keraguan. Karena ini bukan sekadar perjuangan tanah—ini adalah perjuangan menegakkan kembali makna sejati dari Indonesia merdeka. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.