Opini

Menolak Sun Tangan, Tapi Mencium Anggaran Diam-Diam

Menolak Sun Tangan, Tapi Mencium Anggaran Diam-Diam
Fajar Santika (DPanji) - Penulis. (Daspublika.com)

Daspublika.com - Kita diajarkan dari kecil: “Kalau lewat di depan orang tua, tunduk. Kalau bertemu yang dituakan, sun tangan. Kalau bicara, jaga sopan.”

Itu bukan ajaran penjilat. Itu ajaran manusia. Adab.

Tapi sekarang, muncul generasi baru: anti-sun tangan, anti-hormat, anti-basah-basih.
Katanya: “Hormat mah ke yang layak dihormati!”
Tapi pas ada peluang dana hibah: bajunya rapi, mukanya ramah, tangan terbuka. Tiba-tiba sopan. Tiba-tiba santun.

“Pejabat mah disun tangan, tapi rakyat disun dana.”
“Aktivis mah disun idealisme, tapi proyek disun diam-diam.”

Yang satu mencium tangan karena diajarkan menghormati.
Yang satu mencium celah karena terbiasa oportunis.

Ironisnya, yang menjaga adab malah dicap penjilat.
Sementara yang hobi ngaku-ngaku pejuang, diem-diem jadi pengemis anggaran.

Datang ke pejabat bukan untuk melawan, tapi untuk minta jatah kegiatan—lengkap dengan proposal, amplop, dan janji muluk.
Bahkan tak jarang, nyari proyek atas nama rakyat yang bahkan tak pernah tahu mereka ada.

Mereka ini keras di mikrofon, lembek di meja makan.
Berani di Twitter, kalem di ruangan anggaran.
Tolak sun tangan, tapi gemar cium bokong kekuasaan secara sembunyi.

Yang bikin muak:
Ketika mereka berdiri di podium, menyebut yang menghormati sebagai “budak kekuasaan”, “penjilat tua”, “budaya feodal”.
Padahal mereka sendiri: Orasi bawa semangat revolusi, pulang bawa SPJ palsu.

Lalu, siapa sebenarnya yang layak dicium tangannya?

Orang yang sepanjang hidupnya menjaga akhlak, bahkan saat tak ada yang melihat?
Atau mereka yang teriak lantang tapi hidup dari amplop yang mereka caci?

Lebih baik sun tangan pada pejabat yang salah, tapi kita tetap jujur.
Daripada menolak hormat, tapi kita sendirilah maling sebenarnya.

Sun tangan itu simbol. Tapi tangan bisa mencium atau mencuri.
Adab bisa jadi jubah kemunafikan, tapi juga bisa jadi benteng integritas.

Yang bahaya itu bukan mereka yang mencium tangan. Yang bahaya adalah mereka yang tak mencium tangan, karena tangannya sendiri terlalu sibuk menilep. (*)


Catatan akhir:

“Bukan soal siapa yang kamu cium, tapi apa yang kamu incar.”
Karena hari ini, terlalu banyak yang merasa mulia hanya karena tidak mencium tangan,
padahal seluruh hidupnya didedikasikan untuk menjilat—bukan dengan bibir, tapi dengan proposal, lobi, dan janji kosong. 

0 Komentar :

Belum ada komentar.