Pantaupolitik.com - Tepat 31 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto bikin gebrakan. Tidak dengan gebuk meja atau reshuffle kabinet, tapi dengan dua jurus lembut: satu abolisi untuk Tom Lembong, satu amnesti untuk Hasto Kristiyanto. Dua rasa pengampunan, dua arah yang sama: rekonsiliasi.
Masyarakat pun terbelah. Ada yang kagum, ada yang gumam. Tapi yang paling vokal adalah para mahasiswa dan pakar hukum—dua kelompok yang memang belum sempat disambangi undangan makan siang politik.
Tom Lembong, ekonom kritis dan mantan pejabat yang sempat terseret kasus korupsi, kini dibebaskan sebelum vonisnya sempat jadi tetap. “Abolisi,” kata negara. Semacam pemutihan atas kasus yang belum sempat dimatangkan. Biar nggak terlalu panjang urusannya. Praktis dan hemat waktu.
Sementara Hasto Kristiyanto, Sekjen partai besar, justru lebih beruntung. Meski sudah sempat divonis dan menjalani proses hukum, ia dapat “amnesti”. Ini seperti memencet tombol "reset" pada politikus. Bersih kembali, langsung bisa tampil di layar publik dengan senyum optimis dan dada lapang.
Lalu muncul pertanyaan kecil dari publik: “Kok bisa?”
Kata para profesor hukum, ini tak lazim. Biasanya amnesti dan abolisi itu diberikan untuk pelanggaran bermuatan politik—seperti pasal makar, pasal ITE, atau pasal “terlalu beda pendapat”. Tapi untuk korupsi? Itu sih urusan pidana murni. Mestinya, jalan ninjanya tetap lewat pengadilan.
Tapi negara punya alasan. Menurut Menteri Hukum, ini demi kondusivitas nasional menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-80. Karena katanya, apa artinya merdeka kalau masih saling curiga?
Sementara itu, BEM SI tak tinggal diam. Mereka bilang ini adalah bukti bahwa demokrasi sedang dipelintir, dan oposisi sedang “dijinakkan”. Mereka takut ini jadi preseden bahwa hukum bisa jadi bagian dari silaturahmi kekuasaan. Dari hukum ke pelukan.
Tentu saja, semua pihak tetap menyatakan: Presiden punya hak prerogatif. Tapi yang dipertanyakan: apakah hak itu sedang digunakan untuk keadilan, atau untuk menjaga suasana makan malam politik tetap hangat?
Tom dan Hasto, tentu bukan malaikat. Kasusnya bukan fiksi. Tapi di negeri ini, kadang hukum bukan soal benar-salah, tapi soal cocok-tidak cocok. Dan bila sudah cocok, hukum pun bisa diajak kompromi.
Satu pesan penting dari semua ini: kalau kamu mau bebas dari jerat hukum, ada dua cara. Pertama, jangan bersalah. Kedua, kalau sudah terlanjur, pastikan kamu cukup penting. (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.