Politik

GAMRUD dan "SEPULTURA": Tuntutan Rakyat atau Sekadar Ilusi?

GAMRUD dan "SEPULTURA": Tuntutan Rakyat atau Sekadar Ilusi?
Buka bersama GAMRUD, Minggu, (23/3/2025). (Pantaupolitik.com)

Pantaupolitik.com – Gerakan Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (GAMRUD) kembali hadir dengan agenda tahunan mereka: buka puasa bersama yang diselingi dengan penyampaian sepuluh tuntutan rakyat yang entah akan diwujudkan atau sekadar menjadi wacana musiman.

Bertempat di Pujasega Resto Garut, Minggu, (23/3/2025) forum ini kembali menjadi ajang bagi para aktivis untuk menyampaikan "SEPULTURA" (Sepuluh Tuntutan Rakyat), sebuah manifesto pembangunan yang idealnya bisa membawa Garut menuju kesejahteraan—atau minimal keluar dari rutinitas janji-janji yang tak pernah ditepati.

Di tengah suasana berbuka yang akrab, diskusi serius pun digelar. Ateng Sujana, aktivis reformasi 98 yang pernah menjadi Danlap saat Soeharto turun (dan kini menjadi saksi hidup yang terus mengingatkan sejarah), kembali menegaskan bahwa suara rakyat harus didengar. "Kami tidak membawa kepentingan kelompok tertentu," ujarnya tegas. Pernyataan ini terdengar familiar, seperti siaran ulang dari tahun-tahun sebelumnya.

Namun, yang menarik bukan hanya retorika perjuangan, tetapi daftar tuntutan yang disampaikan. Jika dijabarkan, "SEPULTURA" ini bisa jadi terdengar seperti draft rencana pembangunan negara utopis: jaminan kesehatan gratis, ketenagakerjaan yang layak, pendidikan gratis dan merata, subsidi UMKM, tanah dan modal untuk petani, birokrasi profesional (sebuah konsep yang lebih sulit diterapkan daripada menghapal konstitusi), perumahan murah bagi rakyat miskin, perlindungan perempuan dan anak, serta beasiswa perguruan tinggi untuk semua mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu.

Terdengar luar biasa bukan? Persis seperti visi negara maju yang sering didengungkan dalam pidato-pidato kampanye.

Antara Realitas dan Retorika

Masalahnya, tuntutan seindah ini memerlukan satu hal mendasar: uang. Banyak uang.

Pertanyaannya, siapa yang akan membiayai semua ini? Dari pajak rakyat yang sudah tersedot untuk berbagai program yang sering kali lebih banyak administrasinya daripada manfaatnya? Atau dari anggaran daerah yang lebih sibuk menata proyek-proyek infrastruktur tanpa perencanaan matang?

Kita bicara soal Garut, di mana pembangunan masih sering berjalan dengan prinsip "asal jadi" dan anggaran daerah lebih banyak terserap untuk operasional ketimbang program yang benar-benar berdampak. Bahkan, birokrasi yang katanya ingin direformasi, justru lebih sering menjadi hambatan dalam realisasi kebijakan.

Maka, harapan GAMRUD agar "SEPULTURA" diakomodasi dalam Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan menjadi masukan konstruktif bagi pemerintahan Syakur - Putri, terdengar seperti keinginan idealis yang masih harus berhadapan dengan realitas politik dan ekonomi yang jauh dari kata ideal.

"Kami akan terus mengawal kebijakan daerah," ujar Achmad Sugianto penuh semangat. Pernyataan ini patut diapresiasi, meskipun dalam praktiknya, pengawalan kebijakan sering kali berakhir dalam bentuk diskusi panjang yang berputar-putar tanpa hasil konkret.

Aksi Nyata atau Sekadar Upacara Tahunan?

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul setiap tahun tetap sama: apakah "SEPULTURA" ini akan menjadi kenyataan, atau sekadar daftar resolusi yang akan dilupakan sebelum lebaran?

Sejarah menunjukkan bahwa tuntutan rakyat sering kali hanya menjadi catatan kaki dalam dokumen-dokumen resmi, sementara perubahan nyata membutuhkan lebih dari sekadar deklarasi. Jika GAMRUD serius ingin mewujudkan tuntutan ini, mereka harus siap berhadapan dengan kenyataan pahit: kebijakan tidak hanya dibentuk oleh keinginan rakyat, tetapi juga oleh kepentingan politik, ekonomi, dan—tentu saja—birokrasi yang enggan berubah.

Jadi, apakah kita akan melihat perubahan nyata dari "SEPULTURA"? Atau ini hanya babak baru dari drama panjang aktivisme yang penuh idealisme, tetapi minim eksekusi?

Waktu yang akan menjawab, atau mungkin hanya mengulang siklus yang sama. (*)

0 Komentar :

Belum ada komentar.