Pantaupolitik.com - Kita hidup di era yang katanya kolaboratif, terbuka, dan kreatif. Tapi di balik euforia berbagi ide, diam-diam tumbuh sebuah penyakit sosial yang menggerogoti ekosistem berpikir: caplokisme intelektual—sebuah praktik merampas gagasan tanpa pengakuan, tanpa rasa bersalah, bahkan kadang dibungkus dengan dalih “kebaikan bersama”.
Caplokisme bukan fenomena baru. Ia sudah lama bersemayam dalam dinamika sosial, organisasi, institusi, bahkan dunia akademik. Tapi kini, keberadaannya menjadi lebih terang dan nyaring, terutama karena akses ke ruang publik yang makin mudah. Seseorang cukup menyalin gagasan dari forum kecil, menyesuaikan narasi sedikit, lalu mengumumkannya di hadapan khalayak seolah-olah itu buah pikirannya sendiri.
Masalahnya bukan pada pengembangan ide. Tentu sah-sah saja jika sebuah gagasan dikembangkan lebih jauh oleh orang lain. Tapi ketika pengembangan itu tak disertai pengakuan kepada pemilik awal, di situlah etika diinjak.
Gagasan yang diciptakan dengan riset, observasi, dan dialog mendalam sering kali lahir dalam sunyi. Namun tiba-tiba bisa muncul di dokumen resmi, presentasi besar, atau unggahan penuh klaim, tanpa pernah menyebut siapa yang menyalakan percikan pertama.
Dan yang lebih menyakitkan: pencipta ide disuruh diam. Diberi nasihat agar ikhlas, seolah keberanian untuk meminta pengakuan adalah dosa intelektual.
Padahal dalam dunia berpikir, memberi atribusi bukan soal formalitas. Ia adalah bentuk penghargaan atas proses. Tanpa ini, dunia intelektual hanya akan jadi ajang adu cepat tampil, bukan adu kedalaman gagasan.
Kita harus mulai membangun budaya menyebut sumber, memberi ruang kolaboratif yang jujur, dan menghargai peran kreator ide.
Ini bukan soal gengsi atau sensitivitas pribadi. Ini tentang menjaga ekosistem berpikir agar tetap sehat dan berkelanjutan.
Karena jika semua orang sibuk mencaplok, siapa lagi yang akan sungguh-sungguh berpikir? (*)
0 Komentar :
Belum ada komentar.