*Oleh: Dera Hermana
Di tengah gelombang perubahan sosial yang terus bergerak, aktivisme di daerah memiliki posisi strategis sekaligus tantangan yang khas.
Tidak seperti di pusat-pusat industri besar, aktivisme lokal sering kali berhadapan langsung dengan realitas masyarakat agraris, keterbatasan infrastruktur, dan struktur kekuasaan yang lebih tertutup.
Maka, prioritas gerakan di daerah tak bisa disamakan secara mentah dengan wilayah lain. Ia harus ditentukan oleh konteks sosial-ekonomi yang konkret dan dinamis.
Dalam banyak wilayah, fokus gerakan rakyat di tingkat lokal masih bertumpu pada isu-isu seperti politik lokal, pendidikan, dan pertanian.
Ini bukan tanpa alasan. Banyak daerah masih ditopang oleh sektor agraris dan usaha kecil, bukan oleh industrialisasi besar-besaran.
Struktur kelasnya berbeda, begitu pula tantangan dan potensi organisasinya. Di sini, petani kecil, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat desa menjadi subjek utama dalam narasi perjuangan sosial.
Mengangkat isu politik lokal bukan berarti terjebak dalam pragmatisme elektoral. Justru di sinilah demokrasi diuji: bagaimana rakyat bisa ikut menentukan arah pembangunan, distribusi anggaran, hingga akses terhadap ruang hidup.
Intervensi di ranah ini penting untuk memotong dominasi elite daerah yang kerap mengabaikan kepentingan kelompok rentan.
Pendidikan pun menjadi medan penting karena banyak anak muda dari keluarga kelas bawah yang terhambat aksesnya terhadap pendidikan berkualitas.
Kampus-kampus daerah sering kali menjadi ruang produksi kesadaran, meski dalam tekanan birokrasi dan komersialisasi.
Mengorganisir pelajar dan mahasiswa bukan hanya soal advokasi, tapi juga soal menyiapkan regenerasi politik rakyat.
Sementara itu, pertanian bukan hanya urusan produksi pangan, tapi juga menyangkut kedaulatan rakyat atas tanah, benih, dan kehidupan desa.
Petani menghadapi krisis struktural dari berbagai arah: alih fungsi lahan, ketergantungan pada korporasi agribisnis, hingga harga komoditas yang dikendalikan pasar. Maka memperkuat gerakan tani bukan pilihan, tapi kebutuhan.
Namun zaman terus bergerak. Di sejumlah daerah, geliat industri mulai masuk melalui sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki.
Ini memunculkan konfigurasi kelas baru: buruh upahan yang bekerja di bawah sistem kontrak, outsourcing, dan upah murah.
Bila gerakan lokal tidak segera mengantisipasi ini, ruang pengorganisiran kelas pekerja akan diambil alih oleh kekuatan pragmatis.
Tentu, pengorganisiran buruh tidak bisa dilakukan secara instan. Ia menuntut pemetaan sosial yang serius, pendekatan yang relevan, serta kesabaran membangun basis.
Tapi menunda kerja ini terlalu lama bisa berakibat pada hilangnya momentum penting dalam perluasan gerakan.
Di sinilah pentingnya kesadaran dialektis: memahami bahwa prioritas bisa berbeda-beda tergantung konteks, tapi arah perjuangan harus tetap progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Gerakan lokal tidak boleh terjebak dalam sektoralitas. Aliansi antara petani, pelajar, mahasiswa, dan buruh perlu dibangun sejak dini—melalui jembatan isu, ruang-ruang dialog, dan kerja bersama.
Aktivisme lokal yang berpijak pada realitas, namun tidak kehilangan pandangan strategis ke depan, adalah kunci agar gerakan tetap relevan dan berdaya dalam menghadapi transformasi zaman.
Karena perubahan sosial tidak menunggu kesiapan kita—ia terus bergerak, dan hanya yang tanggap yang bisa turut membentuk arahnya. (*)
*Penulis adalah warga Negara biasa, tinggal di Garut
0 Komentar :
Belum ada komentar.