Hukum

Tom Lembong Ditangkap: Kebijakan Impor Gula atau Korupsi?

Tom Lembong Ditangkap: Kebijakan Impor Gula atau Korupsi?
Tom Lembong

Pantaupolitik.com - Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau akrab disapa Tom Lembong, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi terkait izin impor gula.

Penetapan ini diumumkan pada Selasa, 29 Oktober 2024, dan mengundang reaksi luas di masyarakat, terutama di media sosial.

Menurut Kejagung, penetapan tersangka ini berkaitan dengan keputusan Tom Lembong pada tahun 2015 yang memberikan izin impor gula meskipun Indonesia saat itu mengalami surplus gula.

Kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan negara dan merugikan perekonomian.

Reaksi dari warganet pun beragam. Beberapa pengguna media sosial meragukan dasar penetapan Tom Lembong sebagai tersangka.

Sebuah akun di Twitter mengungkapkan keheranan, "Gara-gara kasus Tom Lembong, baru tahu ternyata orang bisa dicap korup jika menyebabkan negara rugi bahkan tanpa perlu ada unsur memperkaya diri dari kerugian tersebut," sementara yang lain menambahkan, "Enak betul, menjadikan orang tersangka karena kebijakan lalu ketika ditanya ada enggak aliran dana, gak ada baru mau didalami."

Apakah Kebijakan Pejabat Negara Bisa Dipidanakan?

Dalam konteks hukum, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tidak tepat dan tidak berdasar.

Fickar menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh pejabat publik tidak bisa dijadikan alasan pidana kecuali ada bukti jelas mengenai penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan melawan hukum yang merugikan negara.

"Seorang pejabat negara dapat dipidanakan jika terbukti menerima suap atau gratifikasi. Kebijakan tidak bisa dipidanakan hanya karena dianggap salah," jelas Fickar.

Menurutnya, Kejagung seharusnya bisa melakukan tindakan lebih awal jika merasa kebijakan tersebut bermasalah, mengingat kebijakan impor tersebut sudah terjadi delapan tahun yang lalu.

Kejagung menilai bahwa Tom Lembong tidak melakukan koordinasi yang cukup dengan instansi terkait sebelum mengeluarkan izin impor.

Namun, Fickar menekankan bahwa kurangnya koordinasi itu bukan merupakan alasan hukum untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi.

"Jika alasan Kejagung adalah kebijakan yang dianggap merugikan, maka menteri-menteri lain pun dapat terjerat kasus serupa," tambahnya.

Kerugian Negara dan Bukti Aliran Dana

Lebih lanjut, Fickar menggarisbawahi bahwa tanpa bukti aliran dana yang mengarah ke Tom Lembong, sulit untuk mengkategorikan tindakannya sebagai korupsi.

Menurutnya, penilaian atas kerugian negara seharusnya melibatkan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memberikan keterangan yang jelas tentang apakah suatu kebijakan merugikan negara atau tidak.

"Kasus Tom Lembong tidak jelas kerugian negaranya di mana. Impor juga bisa membawa pemasukan bagi negara melalui pajak dan bea masuk," imbuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas dalam menilai kerugian negara akibat kebijakan yang diambil oleh pejabat publik.

Kasus ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam menilai kebijakan publik dalam konteks hukum.

Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dugaan korupsi membuka diskusi lebih luas mengenai batasan antara kebijakan yang sah dan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.

Dalam kondisi ini, penting untuk memastikan bahwa keputusan hukum diambil berdasarkan bukti yang jelas dan kriteria yang sah, untuk menjaga agar pejabat publik tidak takut mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat. (*) 

 

0 Komentar :

Belum ada komentar.